CERITA DEWASA MENIKMATI TUBUH BOHAI PENARI JALANAN

CERITA DEWASA MENIKMATI TUBUH BOHAI PENARI JALANAN


CERITA DEWASA MENIKMATI TUBUH BOHAI PENARI JALANAN ,  Hasrat-Bispak14 Seluruh orang didalamnya harus bertarung dan berkorban agar tidak tersisih, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang gak banyak yang mengetahui nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, namun maknanya tidak hanya itu. Denok pun memiliki arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda yaitu seseorang penari, dan seringkali ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya dan Simbok temukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak punyai banyak hutang dikarenakan edan judi, dan beliau tak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang sendu lantaran Bapak telah tidak ada, tetapi juga kebingungan lantaran beberapa waktu sehabis Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil alih biro judi yang memberikan hutang ke Bapak. Kami gak punyai daerah tujuan, serta uang simpanan kami gak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, moga-moga di situ mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima karena dikira pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak perlu ijazah, tandingan banyak. Selanjutnya seusai lumayan lama menyimak beberapa peluang yang ada, Simbok memastikan untuk menggunakan keterampilan kami. Dengan modal baju dan perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, mulai kami berdua jadi penari jalanan. WAJIB 4D


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah bersiap ujian akhir SMA atau menempuh tahun mula kuliah, serta yang di kampung menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya mengawali jalani kehidupan anyar, menawarkan ketrampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, semata-mata cari keramaian di mana kami dapat mendapatkan beberapa lembar rupiah buat bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya tidak mudah pula cari uang lewat langkah seperti berikut, paling-paling yang kami temukan hanya buat makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Dan gak di seluruh tempat kami dapat memperoleh pirsawan yang mau bayar, terkadang kami malahan ditendang atau dihardik. Sesudah lumayan lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat selalu bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar sewaan murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, dari kelompok menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah semasing. Datangnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meski kerapkali helai-lembar itu diserahkan kepada kami oleh kurang santun misalkan dengan diumpetkan ke busana kami. Apa saya dan Simbok memanglah menarik? Entahlah ya. Saya sendiri tak berasa elok. Sebagai anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pun dari dahulu selalu mengarahkan serta memperingatkan saya buat menjaga badan kendati dengan secara simpel, jadi biarpun sawo masak, kulit saya masih tetap mulus serta tidak jerawatan manalagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Ditimbang-timbang betul pun sich bila dikatakan saya montok. Tidak tahu mengapa, walaupun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap tubuh saya jadi bisa ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya udah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya selalu was-was dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya  kuat dikarenakan dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja jika ada yang kira demikian. Terheran-herannya, kendati atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu elok. Hingga usia begitu lantas beliau masih tetap elok. cerpensex.com Apa lagi apabila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Semuanya orang nengok dan tidak tonton apapun kembali. Saya sendiri terus berasa tidak baik lho bila tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum tonton kami menari kok segalanya ngomong saya elok. Saya pikirkan, ini sih pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, sampai berbeda warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat makin tebal. Bibir pun diberi gincu warna merah keren. Saya kala itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus membuat suka yang melihat."


Semakin lama saya biasa pula menggunakan dandanan sesuai itu, malahan saya bikin jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari kejadian penganten, sesaat bila nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi memang yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, bencana tiba kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kronis. Saya cemas, beberapa orang disekitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terbantu. Simbok wafat di rumah sakit sehabis 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya semenjak ketabrak pun Simbok tidak ada keinginan, namun tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Sampai tidak sampai hati saya menyaksikannya. Kala itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, maka itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Namun apa itu betul atau tidak, saya tak ingin tahu, biarkanlah itu menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penyemayaman, jadi harus berutang kemanapun. Saya tidak dapat melaksanakan acara beberapa macam buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di kontrak saja sebab sangat sendu. Barangkali setiap hari saya menangis, berduka ingat Simbok, pun kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang udah habis serta saya pun harus lawan beberapa tukang tagih hutang yang tidak ingin tahu kepelikan saya . Sehingga, satu minggu setelah Simbok disemayamkan, saya kembali bersiap buat keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar tidak terlihat beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, serasi keluar kamar saya jadi bertemu dengan ibu yang mempunyai sewaan. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak miliki uang, jadi saya cuman dapat omong maaf, dan sang ibu justru ngancam secara lembut. Tidak apapun gak bayar, ujarnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya pengin upaya dahulu, kata saya, kelak dapat saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA MENIKMATI TUBUH BOHAI PENARI JALANAN


Apesnya, hari itu pasar lumayan sepi, dan setelah dua jam saya anyar bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala dipenuhi dengan pemikiran, bagaimana langkahnya agar kelak bila pulang telah mempunyai cukup uang buat bayar sewa. Belum beberapa hutang yang lain. Saat siang, saya tengah jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan sedang mengalkulasi segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu hanya mengenal beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua ketimbang Simbok, kemungkinan umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberikan kami uang tetapi beliau tidak. Namun beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta berada di belakang. Tokonya lagi sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya mesti ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis buat cost penguburan Simbok… saat ini saya harus bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya telah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang baru saja ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu penting uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja." WAJIB 4D


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya geram tetapi tak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tidak ingin pinjamkan uang. "Cuman seramnya saya tak dapat cukup uang ini hari untuk bayar sewaan. Jika berjualan, saya nggak miliki apapun, harus jual apa?"


Tetapi lalu tatapan Juragan kok berganti jadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa ngomong kamu tidak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan lagi terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa artinya itu.


"Kalaupun kamu ingin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya perlu uang, namun apa harus lewat cara seperti berikut? Tetapi bila gak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama juga. Saya gak mempunyai alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali sampai gak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan telah nampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi menyaksikani lantai, tak berani mengusung kepala, tetapi adakalanya saya ngintip ke sana-kemari lihat situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang membuktikan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memonitor sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian omong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Kemungkinan ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tuturnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tidak pernah mendapat uang sekitar itu. Namun saya selalu ragu-ragu. Juragan mendadak pengen ambil kembali uang itu.


"Kalaupun tidak ingin ya telah," tuturnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang hasrat ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar sesudah bicara itu. sumpah, baru kesempatan ini ada laki laki terang-terangan ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu baru saja diletakkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia imbuhkan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal kalinya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat mendapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat uang sekitar itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben yang ditahan tangan saya, dan kainnya melesat demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena barangkali barusan saya malu dan lamban satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya serta menguak kain batik saya. Saya seketika mundur, tetapi tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan pun menggenggam paha saya masih yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bergesekan dengan kulit paha saya, serta saya kian deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya udah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa mestinya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sekalian saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, namun gak tahu mengapa, saya pun kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut jadi? Juragan terus terusan menyaksikan sekujur badan saya, sekalian beri pujian.


"Mari donk, tidak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, bila kamu pengin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… ingin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama